22 hari menuju jarak


     Biasanya orang yang mau pergi itu cenderung aneh. Jadi lebih melankolis dari biasanya, dan gampang gusar. Ditanya mulu oleh banyak orang, disodori pandangan penuh tanya. Bukan cuma saya yang begitu, tapi sepertinya ketujuh teman seperjuangan saya juga demikian.

     Kami angkatan 21, hanya berdelapan, angkatan tersedikit sepanjang sejarah Nacel Open Door Indonesia, dari latar belakang yang berbeda-beda, akan berangkat 22 hari lagi.

     Mulai deh mempertanyakan diri sendiri: kenapa kok gw ikut program ginian? Mau belajar bahasa Inggris mah tinggal ikut wall street juga lancar. Yakin gak lo bisa survive 10 bulan tanpa orangtua? Disini aja masih bergantung sama mbak. Kenapa lo ngorbanin kehidupan SMA, posisi di organisasi dan simpati guru-guru yang udah lo raih susah-susah di kelas sepuluh, untuk tinggal dengan kondisi seadanya? Yakin bisa adaptasi gak? Terus gimana urusan lulus SMA dan kepastian lo kelas 3 SMA nanti setelah pulang? Yakin bisa disetarakan di diknas gak? Penyetaraan Indonesia kan gak jelas, berubah-ubah mulu sistemnya tiap tahun. Terus emang begitu balik bisa ngejar pelajaran yang ditinggalin? Disana kan mata pelajarannya beda sama disini. Gimana nanti kabarnya orang-orang yang lo cintai di Indonesia? Gimana cara komunikasi sama mereka semua?

     Yap itu pertanyaan-pertanyaan anjing yang diri saya tanyakan setiap hari. Kenapa anjing? Karena mereka mengendus-endus saya, mengikuti, mengais-ais minta jawaban.

     Bisa disimpulkan sekarang saya mengapung entah kemana, belum dapat bayangan bagaimana kehidupan didepan nanti. Saya masih jadi pengangguran terselubung yang tidak sekolah selama 22 hari kedepan.

Semua pertanyaan itu, belum ada jawabannya.
Satu hal yang pasti, menurut senior saya: “Tenang aja, semua ini bakal setimpal pada akhirnya kok”

Baik, mari kita jalani keputusan ini.

22 hari menuju jarak.

/Tasya



Post a Comment

0 Comments